PEMIKIRAN KALAM INDONESIA H.M. RASYIDI DAN HARUN NASUTION
A. H.M. Rasyidi
1. Profil H.M. Rasjidi
Prof. Dr. H. M. Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, hari Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, saat kalender Hijriyah menunjukkan angka 4 Rajab 1333. Pada masa kecilnya, Rasjidi bersekolah di Sekolah Ongko Loro, Kotagede. Kemudian pindah ke Kweekschool Muhammadiyah, Ngabean. Pada usia 14 tahun, Rasjidi yang mulai beranjak remaja meneruskan sekolah ke Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Jawa Timur. Ia berguru pada Syeikh Surkati.
Dalam usia belasan, Rasjidi sudah mampu membaca dan paham buku-buku rujukan yang bisa dibilang berat, seperti buku Alfiah karya Ibnu Malik yang membahas gramatika Bahasa Arab. Buku lain yang dikuasai adalah Matan as-Sullam, buku tentang logika yang ditulis murid Plato, yakni Aristoteles. Kecendekiawanan Rasjidi mulai terlihat ketika bersekolah di Perguruan Al-Irsyad ini.
Selama hidupnya, ia telah menulis banyak buku. Di antaranya:
1. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi
2. Filsafat Agama
3. Islam dan Indonesia di Zaman Modern (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UI)
4. Islam dan Kebatinan
5. Keutamaan Hukum Islam
6. Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam?
7. Islam Menentang Komunisme
8. Islam dan Sosialisme
9. Sikap Umat Islam Terhadap Ekspansi Kristen
10. Agama dan Etika
11. Di Sekitar Kebatinan
12. Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen (buku yang dilarang pemerintah kala itu)
13. Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (diterbitkan kembali oleh Kalam Ilmu Indonesia dan Depok Islamic Study Circle Masjid UI, 2011)
14. Sidang Raya Gereja Sedunia di Jakarta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam
15. Koreksi Terhadap Dr. harun Nasution tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”.
16. Strategi Kebudayaan dan Pembaruan Pendidikan Nasional
17. Apakah itu Syi’ah?
18. Unity and Diversity in Islam (dalam Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path)
19. Terjemahan buku Bibel, Qur’an dan Sains Modern karya Maurice Bucaille
20. Terjemahan buku Janji-janji Islam karya Roger Garaudy
21. Terjemahan buku Humanisme dalam Islam karya Dr. Marcel Boisard
22. Terjemahan buku Persoalan-persoalan Filsafat oleh Titus cs.
Prof. Dr. H. Rasjidi wafat di Rumah Sakit Islam Jakarta, pada 30 Januari 2001, di usia 86 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Kotagede, dengan dihadiri para tokoh Dewan Dakwah seperti K.H. Hussein Umar, Hardi M. Arifin, dan tokoh Islam lainnya. Selain pencapaian dakwah yang sangat berharga bagi umat Islam di Indonesia, beliau mewariskan buku-bukunya untuk perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, serta sebuah mobil tua untuk menunjang kegiatan lembaga tersebut.
Sampai saat ini, penghargaan tertinggi dari pemerintah yang diterimanya adalah Bintang Mahaputera. Beliau amat pantas menerima yang lebih dari itu, yakni Pahlawan Nasional, sesuai pencapaian perjuangan dan pengorbanannya untuk kejayaan agama dan bangsa. Sambil menunggu gelar tersebut diberikan oleh pemerintah, nama Prof. Dr. H. M. Rasjidi harus hidup sebagai pahlawan di dalam dada generasi muda Islam di Indonesia. Sebab beliau tetaplah Guru Bangsa yang amat perlu dihormati.
2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari kritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen”. Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkata, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232)
Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.
c) Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni:
“Percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan”.
Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.
B. Harun Nasution
1. Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang teolog islam modern yang bercorak pemikiran rasional. Dengan corak pemikiran teologinya yang demikian itu, Harun Nasution dikenal pula sebagai ilmuwan yang banyak mengemukakan gagasan-gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran yang umumnya dianut Umat Islam di Indonesia. Beliau dilahirkan di Pematangsianar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari selasa, 25 September 1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara, yakni, Muhammad Ayyub, Khalil, Sa’idah, Harun, dan Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai Qadi, penghulu, Kepala Agama, Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putrid ulama asal mandaling dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab. Kedua orang tua Harun Nasution yang berpendidikan agama yang demikian itu telah memberikan sumbangan dan peran yang amat besar dalam menanamkan pendidikan agamanya.
Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain:
a) Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
b) Filsafat Agama (1973)
c) Islam Rasional (1995)
d) Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
e) Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
f) Teologi islam
2. Pemikiran Harun Nasution
a) Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b) Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c) Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Komentar
Posting Komentar